Jumat, 02 November 2012

MAKALAH EUTHANASIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar  Belakang
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.

1.2.            Identifikasi Masalah
1)      Apa Definisi Euthanasia
2)      Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia
3)      Apa Kewajiban Perawat dalam kasus Euthanasia
4)      Bagaimana Euthanasia Di Pandang dari Etik Dan Hukum


1.3.            Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun maksud dari penyusunan makalah ini untuk memperoleh informasi tentang Euthanasia

1.4.            Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dan bermanfaat serta menjadi pedoman bagi penulis lain yang berminat menyusun makalah dengan tema yang sama.
2)      Sebagai sumbangan pemikiran atau bahan masukan khususnya bagi mata kuliah terkait.

1.5.            Metode Penulisan
Menggunakan metode pustaka

BAB II
KAJIAN TEORI
I.       Pengertian
-          Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
-          Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
-          Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
           Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif jika dokter melakukan negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan kematian.


II.    Klasifikasi euthanasia
a.    Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
·         Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan
·         Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b.   Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:
ü Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
ü Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
ü Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).





c.       Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
ü Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
ü Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
ü Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotikakepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

d.   Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
ü  Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
ü  Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
ü  Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial

e.    Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
ü Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
ü Eutanasia hewan
ü Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

f.    Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
ü  Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
ü   Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
ü  Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
ü   Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.


III.  Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.

IV.       Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.       memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.      membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.       mengoptimalkan system dukungan
d.      membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
e.       membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.

V. Beberapa aspek euthanasia.
A.  Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

C. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.


VI.             Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
ü  Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
ü  Pasal 338 KUHP        
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
ü  Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di            hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
ü  Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
ü  Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
VII.          KODE ETIK INDONESIA
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan bagi Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya

Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.

ü  Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

ü  Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.

ü  Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelahBelanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

ü  Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosispenyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.

ü  Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

ü  Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris(British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.



KEPUSTAKAAN :
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott

Tidak ada komentar:

Posting Komentar