BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan pendidikan saat ini meningkat dengan pesat sebagai konsekwensi
dari logis globalisasi. Perkembangan pendidikan keperawatan hendaknya tidak
hanya berupah peningkatan kwantitas semata,namun harus di ikuti dengan
peningkatan kwalitas pendidikan. Dengan demikian akan di hasilkan perawat yang
professional dan siap berkompotisi dengan enaga kesehatan lain,baik di tingkat
nasional atau internasonal.
Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala
bidang serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pula
terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
kesehatan termasuk pelayanan keperawatan atau kebidanan. Hal ini merupakan
tantangan bagi profesi keperawatan dan kebidanan dalam mengembangkan
profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan
yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan
basis pada etik dan moral yang tinggi.
Perawat di tuntut untuk melaksanakan asuhan keperawatan untuk pasien/klien baik
secara individu,keluarga,kelompok,dan masyarakat dengan memandang manusia
secara biopsikososial spiritual yang komprehensi.Sebagai tenaga yang
professional,dalam melaksanakan tugasnya diperlukan suatu sikap yang menjamin
terlaksananya tugas tersebut dengan baik dan bertanggung jawab secara moral.
Etika merupakan sesuatu yang dikenal,diketahui,diulang,serta menjadi suatu
kebiasaan di dalam suatu masyarakat,baik berupa kata-kata atau suatu bentuk
perbuatan yang nyata. Etika lebih menitik beratkan pada
aturan-aturan,prinsip-prinsip yang melandasi perilaku yang mendasar dan
mendekati aturan-aturan,hukum,dan undang-unang yang membedakan benar atau salah
secara moralitas.
Dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada individu,keluarga,atau
komunitas,perawat sangat memerlukan etika keperawatan. Karena itu,focus dari
etika keperawatan di tujukan terhadap sifat manusia yang unik.
B. Tujuan
1. Tujuan
Umum
Untuk mengetahui cara menerapkan prinsip legal etis pada pengambilan keputusan
dalam konteks keperawatan
2. Tujuan
Khusus
a. Untuk
lebih mengerti, memahami, dan menerapkan prinsip-prinsip legal etis pada
pengambilan keputusan dalam konteks keperawatan.
b. Untuk lebih
mengerti dan memahami prinsip etika keperawatan,isu etik dalam
keperawatan,transplantasi organ,devices,malprektek dan informed consent.
C. Manfaat
1. Mahasiswa
dapat mengerti dan memahami setra mampu menerapkan prinsip-prinsip legal etis
pada pengambilan keputusan.
2. Mahasiswa
dapat mengerti dan memahami teori mengenai etika keperawatan,isu etik dalam
keperawatan itu sendiri
3. Mahasiswa
dapat mengerti dan memahami konsep transplntasi organ dan devicies (alat-alat)
serta informed consent.
D. Metode
Penulisan
Adapun metode penulisan dari makalah ini terdiri dari IV bab yaitu : Bab I
Pendahuluan menjelaskan mengenai latar belakang, tujuan penulisan yang terdiri
dari tujuan umum dan khusus, manfaat dan metode penulisan in sendiri.
Bab II tinjauan pustaka terdiri dari prinsip etika keperawatan yang
didalamnya membahas tentang (otonomi, berbuat baik, tidak merugikan, nilai dan
norma masyarakat), isu etik dalam keperawatan yang membahas tentang (euthanasia
dan aborsi), transplantasi organ yang terdiri dari (jenis-jenis transplantasi,
hokum-hukum dan devices), prinsip legal dalam praktek keperawatan yang di
dalamnya membahas tentang (advokasi, responsibilitas, dan loyalitas),
malpraktek yang di dalamnya terdapat (kelalaian, upaya mencegah malpraktek
dalam pelayanan kesehatan serta hokum dan sanksi).
Bab III pembahasan membahas tentang prinsip etika keperawatan, isu etik
dalam keperawatan, transplantasi organ, prinsip legal dalam praktek
keperawatan, malpraktek, informed consent.
Bab IV penutup membahas tentang kesimpulan dan saran dari makalah yang kami
buat. Serta daftar pustaka.
Demikian metode penulisan dari makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip-Prinsip
Etika Keperawatan
1. Otonomi
(Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang
perawatan dirinya.
2. Berbuat
baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan
(Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh ekualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak
Merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
5. Nilai
dan Norma Masyarakat
Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat nilai dan norma masyarakat sangat penting dan perlu ada pada diri masing-masing.malah
masyarakat yang sedar tentang nilai dan norma masyarakat
berusaha keras dalam mengukuhkan nilai-nilai masyarakat.
Setiap
individu tidak boleh hidup bersendirian, oleh itu seseorang itu perlu bergaul bagi memenuhi keperluan dalam kehidupan.
Oleh itu seseorang itu perlu bersedia agar dapat
bertindak dan berfungsi dalam masyarakat. Bagi seseorang itu dapat berfungsi dan bertindak dalam masyarakat seseorang itu perlu
memahami nilai- nilai masyarakat dan kelakuan norma
masyarakat yang telah disahkan masyarakat itu sendiri.
a. Nilai
Keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran atau keinginan
mengenai ide-ide, objek, atau perilaku khusus. Individu tidak lahir dengan
membawa nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini diperoleh dan berkembang
melalui informasi, lingkungan keluarga, serta budaya sepanjang perjalanan
hidupnya. Mereka belajar dari keseharian dan menentukan tentang
nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Untuk memahami perbedaan nilai-nilai kehidupan ini sangat tergantung pada
situasi dan kondisi dimana mereka tumbuh dan berkembang.
1).Nilai-nilai
tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain :
a).Model atau
Contoh
Dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau buruk melalui
observasi perilaku keluarga, sahabat, teman sejawat dan masyarakat
lingkungannya dimana dia bergaul;
b).Moralitas
Diperoleh dari keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja
dan memberikan ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk
mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda;
c).Sesuka Hati
Adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah
dan sangat tergantung kepada nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan
memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut menurut kemauan
mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan
karena kurangnya pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau
pembinaan sehingga dapat menimbulkan kebingungan, dan konflik internal
bagi individu tersebut;
d).Penghargaan
dan Sanksi
Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan penghargaan bila
menunjukkan perilaku yang baik, dan sebaliknya akan mendapat sanksi atau
hukuman bila menunjukkan perilaku yang tidak baik;
e).Tanggung
jawab untuk memilih;
Adanya dorongan internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan
mempertimbangkan konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya
dukungan dan bimbingan dari seseorang yang akan menyempurnakan
perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.
2).Klarifikasi
Nilai-Nilai (Values)
Klarifikasi
nilai-nilai merupakan suatu proses dimana seseorang dapat mengerti sistem
nilai-nilai yang melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan proses yang
memungkinkan seseorang menemukan sistem perilakunya sendiri melalui
perasaan dan analisis yang dipilihnya dan muncul alternatif-alternatif, apakah
pilihan–pilihan ini yang sudah dianalisis secara rasional atau merupakan hasil
dari suatu kondisi sebelumnya (Steele&Harmon, 1983).
Klarifikasi nilai-nilai mempunyai manfaat yang sangat besar didalam
aplikasi keperawatan. Ada
tiga fase dalam klarifikasi nilai-nilai individu yang perlu dipahami oleh
perawat.
a).Pilihan:
(1). Kebebasan memilih kepercayaan serta menghargai keunikan bagi
setiap individu;
(2).Perbedaan dalam kenyataan hidup selalu ada perbedaan-perbedaan,
asuhan yang diberikan bukan hanya karena martabat seseorang tetapi
hendaknya perlakuan yang diberikan mempertimbangkan sebagaimana kita ingin
diperlakukan.
(3).Keyakinan bahwa penghormatan terhadap martabat seseorang akan
merupakan konsekuensi terbaik bagi semua masyarakat.
b).Penghargaan:
(1).Merasa
bangga dan bahagia dengan pilihannya sendiri (anda akan merasa senang
bila mengetahui bahwa asuhan yang anda berikan dihargai pasen atau klien
serta sejawat) atau supervisor memberikan pujian atas keterampilan hubungan
interpersonal yang dilakukan;
(2).Dapat
mempertahankan nilai-nilai tersebut bila ada seseorang yang tidak bersedia
memperhatikan martabat manusia sebagaimana mestinya.
c).Tindakan:
(1).Gabungkan
nilai-nilai tersebut kedalam kehidupan atau pekerjaan sehari-hari;
(2).Upayakan
selalu konsisten untuk menghargai martabat manusia dalam kehidupan
pribadi dan profesional, sehingga timbul rasa sensitif atas tindakan yang
dilakukan.
Semakin disadari nilai-nilai profesional maka semakin timbul nilai-nilai
moral yang dilakukan serta selalu konsisten untuk
mempertahankannya. Bila dibicarakan dengan sejawat atau pasen dan
ternyata tidak sejalan, maka seseorang merasa terjadi sesuatu
yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip yang dianutnya
yaitu; penghargaan terhadap martabat manusia yang tidak terakomodasi dan sangat
mungkin kita tidak lagi merasa nyaman.
Oleh karena itu, klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana
kita perlu meningkatkan serta konsisten bahwa keputusan yang diambil
secara khusus dalam kehidupan ini untuk menghormati martabat
manusia. Hal ini merupakan nilai-nilai positif yang sangat
berguna dalam kehidupan sehari-hari dan dalam masyarakat luas.
b. Norma
Masyarakat
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman social yang khusus mengenai tingkah
laku, sikap, perbuatan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupannya.
Budaya dan agama mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan Setiap individu
dapat menerima keyakinan tersebut. Keyakinan adalah sesuatu yang diterima
sebagai kebenaran melalui pertimbangan dan kemungkinan,tidak berdasarkan
kenyataan. Tradisi rakyat atau keluarga merupakan keyakinan yang berjalan dari
satu generasi ke generasi lain.
Norma masyarakat
terbagi atas :
1).Norma
Agama
Ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah,
laranganlarangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa
berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah:
a). “Kamu
dilarang membunuh”.
b). “Kamu
dilarang mencuri”.
c). “Kamu harus
patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus
beribadah”.
e). “Kamu jangan
menipu”.
2).Norma
Kesusilaan
Ialah peraturan
hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma
kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma
kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia.
Contoh norma ini
diantaranya ialah :
a). “Kamu tidak
boleh mencuri milik orang lain”.
b). “Kamu harus
berlaku jujur”.
c). “Kamu harus
berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d). “Kamu
dilarang membunuh sesama manusia”.
3).Norma
Kesopanan :
Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur
pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati.
Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena
sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata
krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat
dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi
segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan
masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini
diantaranya ialah :
a).“Berilah
tempat terlebih dahulu kepada wanita
di dalam kereta api, bus dan
lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
b).“Jangan makan
sambil berbicara”.
c).“Janganlah
meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d).“Orang muda
harus menghormati orang yang lebih tua”.
4).Norma Hukum :
Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara.
Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan
segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan
perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.
Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa
ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan
hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar,
yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a).“Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh
dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b).“Orang yang
ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti
kerugian”, misalnya jual beli.
B. Isu Etis
Dalam Keperawatan
1. Eutanasia
Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu
yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti
kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat
berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya dan tersedianya perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini,
pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status
hukumnya.
2. Aborsi
Cara menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah
Abortus. Berarti pengeluaran hasil konsepsi ( pertemuan sel telur dan sel
sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Ini adalah suatu proses
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
a. Dalam
dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi:
1).Aborsi
spontan atau alamiah.
Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya
kualitas sel telur dan sel sperma.
2).Aborsi buatan
atau sengaja.
Adalah
pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat
tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi.
Misalnya dengan bantuan obat aborsi.
3).Aborsi
terapeutik atau medis.
Adalah
pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medic. Sebagai
contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi
menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik
calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas
pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
b. Contoh-contoh
Aborsi :
1).Pada
kehamilan muda (dibawah 1 bulan) untuk Masa 1 Bulan:
Pada kehamilan muda, dimana usia janin masih sangat kecil, aborsi dilakukan
dengan cara
menggunakan alat penghisap (suction). Sang anak yang masih sangat lembut
langsung terhisap dan
hancur berantakan. Saat dikeluarkan, dapat dilihat cairan merah berupa
gumpalan-gumpalan darah dari janin yang
baru dibunuh tersebut.
2).Pada
kehamilan lebih lanjut (1-3 bulan) untuk Masa 1-3 Bulan:
Pada tahap ini, dimana janin baru berusia sekitar beberapa minggu,
bagian-bagian tubuhnya mulai terbentuk. Aborsi dilakukan dengan cara
menusuk anak tersebut kemudian bagian-bagian tubuhnya dipotong-potong dengan
menggunakan semacam tang khusus untuk aborsi (cunam abortus). Anak dalam
kandungan itu diraih dengan menggunakan tang tersebut, dengan cara
menusuk bagian manapun yang
bisa tercapai. Bisa lambung, pinggang, bahu atau leher. Kemudian setelah
ditusuk, dihancurkan bagian-bagian tubuhnya. Tulang-tulangnya diremukkan dan
seluruh bagian tubuhnya disobek-sobek menjadi bagian kecil-kecil agar mudah
dikeluarkan dari kandungan. Dalam klinik aborsi, bisa dilihat potongan-potongan
bayi yang
dihancurkan ini. Ada
potongan tangan, potongan kaki, potongan kepala dan bagian-bagian
tubuh lain yang
mungil. Anak tak berdosa yang
masih sedemikian kecil telah dibunuh dengan cara yang
paling mengerikan.
3).Aborsi pada
kehamilan lanjutan (3 sampai 6 bulan) untuk Masa 3-6 Bulan:
Pada tahap ini bayi sudah semakin besar dan bagian-bagian tubuhnya
sudah terlihat jelas.Jantungnya sudah berdetak, tangannya sudah bisa
menggenggam.Tubuhnya sudah bisa merasakan sakit,karena jaringan sarafnya sudah
terbentuk dengan baik.
Aborsi dilakukan dengan terlebih dahulu membunuh bayi ini sebelum dikeluarkan.
Pertama diberikan suntikan maut (saline) yang langsung dimasukkan
kedalam ketuban bayi. Cairan ini akan membakar kulit bayi tersebut secara
perlahan-lahan, menyesakkan pernafasannya dan akhirnya setelah
menderita selama berjam-jam sampai satu hari bayi itu akhirnya meninggal..
Selama proses
ini dilakukan, bayi akan berontak, mencoba berteriak dan jantungnya
berdetak keras. Aborsi bukan saja merupakan pembunuhan, tetapi pembunuhan
secara amat keji. Setiap wanita harus sadar mengenai hal ini.
4).Aborsi pada
kehamilan besar (6 sampai 9 bulan ) untuk Masa 6-9 Bulan:
Pada tahap ini, bayi sudah sangat jelas terbentuk. Wajahnya sudah kelihatan,
termasuk mata, hidung, bibir dan
telinganya yang
mungil. Jari jarinya juga sudah menjadi lebih jelas dan
otaknya sudah berfungsi baik. Untuk kasus seperti ini, proses aborsi
dilakukan dengan cara
mengeluarkan bayi tersebut hidup-hidup, kemudian dibunuh.
Cara membunuhnya mudah saja, biasanya langsung dilemparkan ke tempat sampah,
ditenggelamkan kedalam air atau dipukul kepalanya hingga pecah. Sehingga
tangisannya berhenti dan
pekerjaan aborsi itu selesai. Selesai dengan tuntas hanya saja darah bayi itu yang
akan mengingatkan orang-orang yang
terlibat didalam aborsi ini bahwa pembunuhan keji telah terjadi.
Semua proses
ini seringkali tidak disadari oleh para wanita calon ibu yang
melakukan aborsi. Mereka merasa bahwa aborsi itu cepat dan tidak
sakit, mereka tidak sadar karena dibawah pengaruh obat bius..
Mereka bisa segera pulang tidak lama setelah aborsi dilakukan. Benar, bagi sang
wanita , proses
aborsi cepat dan
tidak sakit. Tapi bagi bayi, itu adalah proses yang
sangat mengerikan, menyakitkan, dan
benar-benar tidak manusiawi. Kematian bayi yang tidak berdosa
itu tidak disaksikan oleh sang calon ibu. Seorang w anita yang
kelak menjadi ibu yang
seharusnya memeluk dan
menggendong bayinya, telah menjadi algojo bagi anaknya sendiri.
c. Hukum-Hukum
Aborsi
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada beberapa hal yang
dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa temyata aborsi dapat
dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis.
Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga keseliatan mempunyai hak untuk
melakukan aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan Demi menyelamatkan ibu hamil
atau janinnya.
Berdasarkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992,
tindakan medis (aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
pertimbangan tim ahli.
Aborsi tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu hamil yang
bersangkutan atau suami atau keluargnya. Hal tersebut berarti bahwa apabila
prosedur tersebut telah terpenuhi maka aborsi yang dilakukan bersifat legal
atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan kata lain vonis medis
oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan tindak
pidana atau kejahatan.
Berbeda halnya dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, aborsi jenis ini disebut dengan aborsi
provokatus kriminalis. Artinya bahwa tindakan aborsi seperti ini dikatakan
tindakan ilegal atau tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan aborsi
seperti ini dikatakan sebagai tindakan pidana atau kejahatan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan aborsi
tersebut sebagai kejahatan terhadap nyawa. Agar dapat membahas secara detail
dan cermat mengenai aborsi provokatus kriminalis, kiranya perlu diketahui
bagaimana konstruksi hukum yang berakitan dengan tindakan aborsi sebagai
kejahatan yang ditentukan dalam KUHP. Pasal 346 : "Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima
belas tahun . (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : Jika
seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
C. Transplantasi
Organ
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang
sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini
adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong
pasie dengan kegagalan organnya,karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan
dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan
medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan
dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hokum, budaya, etika dan moral.
Kendala lain yang dihadapi Indonesia
dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi, adalah terbatasnya jumlah
donor keluarga (Living Related Donor/LRD) dan donasi organ jenazah. karena itu
diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hulum,
kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), pemerintah dan swata.
1. Jenis-Jenis
Transplantasi
Kini telah
dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan , baik berupa cel,
jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut:
a).Transplantasi Autologus
a).Transplantasi Autologus
Yaitu
perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang
dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi,
b).Transplantasi
Alogenik
Yaitu perpindahan
dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga
atau tanpa hubungan keluarga.
c).Transplantasi
Singenik
Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar
identik,
d).Transplantasi
Xenograft
Yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang
hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri
didefinisikan kematian batang otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup
seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah).
Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea,
pancreas, paru-paru dan sel otak. Dalam 2 dasawarsa terakhir telah dikembangkan
tehnik transplantasi seperti transplantasi arteria mamaria interna dalam
operasi lintas koroner oleh George E. Green. dan Parkinson.
2. Hukum
transplantasi organ
a).Aspek hukum
transplantasi
Dari segi hukum ,transplantasi organ,jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai
suatu hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan
manusia,walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pdana yaitu
tindak pidana penganiayaan.tetapi mendapat pengecualian hukuman,maka perbuatan
tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan.
Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan
transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang
transplantasi sebagai berikut :
Pasal 1. c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang
dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi)
tertentu untuk tubuh tersebut.
Pasal 1 : d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal
(fungsi) yang sama dan tertentu.
Pasal 1: e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan
dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi
dengan baik.
Pasal 1: f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya
kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.
Pasal 1: g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut
jantung seseorang telah berhenti.
Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar
nasionalnya mencetuskan fakta tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang
dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara
pasti atau irreversible,atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan
memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau
keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia.
Pasal 11: 1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang ditunjukolehmentri kesehatan.
Ayet 2
Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter
yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12 Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada
sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai
dengan 2(dua) orang saksi.
Pasal 14 Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan
transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal
dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat.
Pasal 15 : 1 Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh
manusia diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih
dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,termasuk dokter konsultan
mengenai operasi,akibat-akibatya,dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Pasal 2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa
calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan
tersebut. Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak
dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17 Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal 2 Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan
yang dilarang untuk tujjuan komersial.
Pasal 34 :1
Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
disaran kesehatan tertentu. Pasal 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari
seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada
persetujuan ahli waris atau keluarganya.
3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
b).Aspek Etik Transplantasi
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan
kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan
ini wajib dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu : Pasal
2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran
tertinggi. Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya
melindungi hidup insani.
Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Pasal-pasal tentang
transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek
etik, mengenai larangan memperjual belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan
transplantasi atau meminta kompensasi material.
Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati
seseorang akan diambil organnya, yang dilakukan oleh 2 orang doter yang tidak
ada sangkt paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi,ini erat
kaitannya dengan keberhasilan transplantasi, karena bertambah segar organ
tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan
karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar meninggal dan
penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan
dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak
terjadi pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh
para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif.
3. Devicies ( Alat-Alat)
Alat-alat yang
biasanya digunakan meliputi :
a. Cusa (pisau pemotong yang menggunakan gelombang ultrasonografi),
b. Meja operasi,
c.
Gunting ,
d. Pisau operasi,
e.
Bedah,
f.
Slang-slang pembiusan,
g. Drap (kain steril yang digunakan untuk menutup bagian tubuh yang
tidak dioperasi),
h. Plastic steril berkantong yang fingsinya menampung darah yang
meleleh dari tubuh pasien,
i.
Retractor,
j.
Penghangat darah dan cairan,
k. Lampu operasi.
D.Prinsip-prinsip
Legal Dalam Praktek Keperawatan
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap
perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri
serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh
karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral
serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam
memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan dimana
nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan
dihormati.
1. Advokasi
Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan mendukung hak-hak
pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat, dalam
menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan etika yang dilakukan yaitu
pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan.
Perawat atau
yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional dan
tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb:
a.
Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen
utamanya terhadap pasen.
b. Berikan
prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya.
c.
Kepedulian mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam
kesembuhan pasien.
Istilah advokasi sering digunakan dalam hukum yang berkaitan dengan upaya
melindungi hak manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi
menurut ANA (1985) adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar
etika yang dilakukan oleh siapa pun”.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting.
Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi
merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat
secara aktif kepada individu secara bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi
perawat yang mempunyai jam kerja 8 sampai 10 atau 12 jam memungkinkannya
mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik dan mengetahui keunikan
klien sebagai manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokat klien
(curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah
memberi informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang
di buat kilen, memberi informasi berarti menyediakan informasi atau penjelasan
sesuai yang dibutuhkan klien, memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran
aksi dan peran nonaksi.
Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa
mereka mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan
sendiri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi
mengandungarti pihak advokat seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi
keputusan klien (Khonke, 1982). Dalam menjalankan peran sebagai advokat,
perawat harus menghargai klien sebagai induvidu yangmemiliki berbagai
karakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap martabat
dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.
2. Responsibilitas
Resposibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan tempat.
3. Loyalitas
Loyalitas merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan
timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat.
Hubungan profesional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama,
menepati janji, menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian
kepuasan bersama (Jameton, 1984, Fry, 1991).
Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan
berbagai pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat
baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.
E.Malpraktek
atau Neglected
Malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah
benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah
tersebut.
1. kelalaian
memakai tolak ukur yakni :
a. Cara
Langsung
Dalam hubungan
perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak
berdasarkan:
1). Adanya
indikasi medis
2).
Bertindak secara hati-hati dan teliti
3).
Bekerja sesuai standar profesi
4). Sudah
ada informed consent.
b. Cara
Tidak Langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
1).Fakta tidak
mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai.
2).Fakta itu
terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan.
3).Fakta itu
terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.(gugatan pasien).
2. Upaya
Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya
kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek
diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum
melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat
semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter.
e. Memperlakukan
pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
3. Sanksi
Hukum
a. Jika
perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti
dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka
adalah hal yang sangat pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana
karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah an telah melakukan
perbuatan melawan hukum yang bisa menghilangkan Jika perbuatan malpraktik
khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan dengan unsur
kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat
pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur
kesengajaan ataupun kelalainyawa seseorang.
Prita terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian
(culpa), maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang, serta
tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan membahayakan keselamatan
jiwa ibu yang melakukan aborsi.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan
celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang.
b. Kitab-Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). (1)‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidasna penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun. (2)’Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi
pidana juga dapat diberikan terhadap mereka yang terbukti melakukan malpraktik,
sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan
yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. ”Namun, apabila
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka
pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
c. Berdasarkan
Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi
praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus)
telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang
menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada
korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHP perdata).
“Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
d. Melihat
berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga
para tim medis akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah
melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini
azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
e. Apalagi,
azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana
dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap
Kode Etik Kedokteran Indonesia
(Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
f. Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah
perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi
lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll.
Pengawasan
biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka
dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia .
g. Namun,
jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi
juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh
undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang
berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga
yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar
hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Baik secara
pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif
dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian
hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi.
Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik
ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab
hukum profesinya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Prinsip Etika
Keperawatan
Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai
kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Setiap perawat
harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam membuat keputusan
misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan
hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya. Dalam membuat keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional,bukanemosional.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya. Dalam membuat keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional,bukanemosional.
B.Isu Etik Dalam Keperawatan
Manusia etik adalah manusia yang bertingkah laku baik karena ia selalu
memilih, dia bertanggungjawab kepada kata hatinya menurut petunjuk kata
hatinya, dia bertanggungjawab kepada siapapun yg berhak menuntut jawab dg
sah atas perbuatannya satu-satunya pedoman bagi tingkah lakunya ialah,
dia berkepribadian keyakinan bahwa apa yg dilakukan itu adalah baik,
mempunyai integritas pribadi & tidak terombang ambing oleh berbudi
luhur apapun dalam pendiriannya yang etik.
C.Transplantasi
Organ
Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang
yang telah meninggal dunia, seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong
menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang lainnya yang masih hidup, maka
transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji.
Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh
kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat
kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral,
kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan
persetujuan dengan penuh kesadaran.
Devices
Alat-alat yang di gunakan untuk melakukan transplantasi organ.Alat -alat ini
sangat membantu dalam proses tersebut,sehingga dapat menjamin pasien tersebut
dapat beraktivitas seperti semula.
D.Prinsip-Prinsip
Legal Dalam Praktek Keperawatan
Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai
kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, perawat sebenarnya telah menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Setiap perawat harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam
membuat keputusan misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang
menyatakan hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya.
E.Malpraktek
Dan Neglected
Kelalaian dapat bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati – hati,
acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi
akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum
atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera
kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa orang
lain.
F. Informed
Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu
“informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi),
dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed
consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent”
dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika
memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang
cukup diberikan oleh dokter Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis
formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun
1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan
melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan
pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari
pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa
tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter)
untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk.
1. Bentuk-Bentuk Persetujuan
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui
isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya,
langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
2. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna
jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis
(pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien
dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan
biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada
alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan
medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat
tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk
of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak
hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal
itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali
jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena
ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh
teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena
informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku
manusia.
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam
mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran
dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang
kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent
deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan
prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
a. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan
pembedahan/operasi
b. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang
memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
c. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang
kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
d. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
e. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter
juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
3. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan
medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek
hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek
hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur
oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana
jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari
ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,
sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpalevis ), sehingga jika terjadi kesalahan kecil
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi”.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang
dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya
kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai
sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan
oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak
pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar
penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan
medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga
dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus
dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya
izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus
menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk
ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum
yang berkenaan dengan informed consent ini.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sering kali perawat dihadapkan pada situasi yang memerlukan
keputusan untuk mengambil tindakan. Sebagai perawat yang professional kita di
tuntut untuk mengambil tindakan yang tidak merugikan perawat maupun
pasien itu sendiri.
Dengan mengenal,
mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip etika dalam diri seorang perawat
maka tujuan dari proses keperawatan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan
hukum dan norma yang berlaku. Seorang perawat juga akan mampu mengambil
keputusan yang terbaik dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang ada.
B. Saran
1.
Sebaiknya dalam melakukan tindak keperawatan,seorang perawat harus bertindak
sesuai dengan prinsip etika tersebut.
2. Dalam
menghadapi situasi yang memerlukan keputusan untuk mengambil tindakan, seorang
perawat harus mampu memberikan tindakan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar