BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit
untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga
takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan
terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter
atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu
profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk
bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran
telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun
istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter
dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan
penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak
untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka
mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian
dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika,
moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
1.2. Identifikasi Masalah
1) Apa Definisi Euthanasia
2) Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia
3) Apa Kewajiban Perawat dalam kasus
Euthanasia
4) Bagaimana Euthanasia Di Pandang dari
Etik Dan Hukum
1.3. Tujuan Penyusunan Makalah
Adapun
maksud dari penyusunan makalah ini untuk memperoleh informasi tentang
Euthanasia
1.4. Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1) Diharapkan dapat berguna bagi penulis
sendiri dan bermanfaat serta menjadi pedoman bagi penulis lain yang berminat
menyusun makalah dengan tema yang sama.
2) Sebagai sumbangan pemikiran atau bahan
masukan khususnya bagi mata kuliah terkait.
1.5. Metode Penulisan
Menggunakan metode pustaka
BAB II
KAJIAN TEORI
I. Pengertian
- Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering
pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan
kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan
nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini
menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru
mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan
teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan
yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang
hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep
kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara
etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran
yang sedemikian maju di pihak lain.
- Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan”
(mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
- Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan
memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama
Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan:
“Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
Dilihat
dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter
melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia
pasif jika dokter melakukan negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang
secara tidak langsung menyebabkan kematian.
II. Klasifikasi euthanasia
a. Dilihat dari orang yang membuat
keputusan euthanasia dibagi menjadi:
· Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
dan
· Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H.,
M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam
artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan
menjadi:
ü Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh
pasien.
ü Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak
(lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga
pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut
peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
ü Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia
atas permintaas sendiri (APS).
c. Eutanasia ditinjau
dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya,
eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
ü Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif
dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan,
baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan
tersebut adalah tablet sianida.
ü Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien
menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun
mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
ü Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja.
Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotikakepada penderita pneumonia berat,
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan
dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa".
Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai
upaya defensif medis.
d. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian
izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu :
ü Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
ü Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang
keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
ü Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien
sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial
e. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya
eutanasia antara lain yaitu :
ü Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
ü Eutanasia hewan
ü Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada
eutanasia agresif secara sukarela
f. Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti
euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
ü Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan
pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak
menimbulkan masalah apapun
ü Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
ü Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan
bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de
facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
ü Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek
kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy
killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya
atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.
III. Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan
nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap
pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan
keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien
sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien
harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya
tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga
keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak
dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan
apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan
orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat
tersebut.
IV. Kewajiban perawat
dalam kasus euthanasia
a. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b. membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang
dihadapinya
c. mengoptimalkan system dukungan
d. membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap
masalah yang telah dihadapi
e. membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa
sesuai dengan keyakinannya.
V. Beberapa
aspek euthanasia.
A. Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih
segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya
seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal
dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan
dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia,
yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan
dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan
diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan
yang hebat.
C. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan,
karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam pengurasan dana.
D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang
yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang
kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang
yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus
kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di
tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya
mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang
umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan
sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering
menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada
hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok
dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
VI. Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345,
dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan
yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
ü Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
ü Pasal 338 KUHP
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
ü Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain,
di hukum,
karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
ü Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
ü Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam
skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan
tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.
VII. KODE ETIK INDONESIA
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan
bagi Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberinya obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya
Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini euthanasia diperkenankan
yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di
Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan
seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.
ü Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter
untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun
2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada
suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
ü Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat
pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern
Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill”
(UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan hukum
di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.
ü Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah
melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung
eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun
mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang
melegalisasi eutanasia ( setelahBelanda dan negara
bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan
orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan
penentuan saat-saat akhir hidupnya.
ü Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara
bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi
disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan
kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian
yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang
ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup
ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosispenyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien
dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak
boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya
baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari
tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon
ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha
untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan
UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit
tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
ü Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan
baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang
bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan
sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa
“membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan
hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
ü Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan
Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut
bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata
guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan
hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih
merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di
Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari
Asosiasi Kedokteran Inggris(British Medical Association-BMA) yang secara tegas
menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
KEPUSTAKAAN :
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Tidak ada komentar:
Posting Komentar